Jumat, 09 Januari 2009

Sure’ La Galigo
Naskah atau Sure’ La Galigo adalah cerita bersyair yang bersifat siklus. Di namakan La Galigo, disesuaikan dengan nama salah seorang tokoh utama cerita tersebut, yakni I La Galigo. Sure’ La Galigo bercerita tentang ratusan keturunan dewa yang hidup pada suatu masa selama tujuh generasi turun temurun pada berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan dan daerah atau pulau-pulau disekitarnya. Naskah bersyair tersebut ditulis dalam bahasa Bugis kuno dengan gaya bahasa sastra tinggi. Hingga memasuki abad ke-20 Masehi, naskah La Galigo secara luas diyakini oleh masyarakat Bugis sebagai suatu kitab sakral dan tidak dibolehkan dibaca tanpa didahului upacara ritual tertentu. Karena itu Naskah Sure’ La Galigo diperlakukan sebagai suatu yang keramat dan sama sekali tidak dibolehkan untuk dimodifikasi. Banyak orang Bugis yang masih yakin bahwa peristiwa yang diceritakan di dalam naskah tersebut benar-benar pernah terjadi suatu saat di masa lalu, ketika keadaan masih berbeda dengan masa kini dan ketika manusia masih berhubungan langsung dengan para Dewata. (Pelras Hal:37).Meskipun tidak diketahui kapan lengkapnya Sure’ La Galigo di transkripsi menjadi naskah-naskah, bahkan kapan sebenarnya tradisi lisan itu mulai diciptakan, namun yang pasti Sure’ La Galigo menggunakan bahasa Bugis yang sangat kuno dari pada bahasa Bugis yang sekarang. Hingga kini versi lengkap Sure’ La Galigo belum ditemukan. Dari naskah-naskah yang masih ada, banyak diantaranya hanya berisi penggalan-penggalan cerita yang dimulai dan di akhiri dengan tiba-tiba atau hanya berisi sebagian kecil dari cerita dengan episode yang kadang-kadang tidak bersambung. Namun demikian, banyak sastrawan Bugis dan di daerah-daerah tertentu bahkan orang awam yang mengetahui sebagian besar jalan cerita Sure’ La Galigo tersebut mereka memperolehnya melalui tradisi lisan atau pembacaan di muka umum.

Mitos To Manurung
Berbagai Varian pada Kerajaan di Sulawesi SelatanDalam sejarah antar suku di Sulawesi Selatan, masa To Manurung dipandang sebagai fase mula dari peletakan prinsip-prinsip pemerintahan dan kehidupan sosio-kultural. Sistem pemerintahan tersebut kemudian menjadi tradisi yang diwariskan secara turun temurun sampai pada generasi berikutnya hingga berakhirnya sistem pemerintahan kerajaan.Berdasarkan pengertian etimologisnya, To Manurung adalah gabungan dari dua kata yang berasal dari bahasa Bugis, yaitu ’To’ dan ’Manurung’. Kata To adalah dari kata dasar dari ’tau’ (orang), sedangkan ’Manurung’ berasal dari kata dasar ’turung’ (yang turun), apabila kedua kata to dan manurung ini digabung, menjadi To Manurung, maka diperoleh pengertian sebagai ’orang yang turun’. Dalam Lontara Bugis dan tradisi lisan menyebutkan bahwa To Manurung (turun dari langit) atau pun muncul dari bawah (to-tompo’) dengan membawa pusaka (arajang). Mereka merupakan keturunan Dewata yang dikirim ke dunia manusia untuk mengakhiri masa chaos. To Manurung muncul ketika rangkaian kedua dari penguasa keturunan dewa hilang (gaib) dari bumi (rigillinna sanapatie). Selama tujuh generasi atau tujuh periode (pitu pariama) dan selama itu rakyat dan seluruh penghuni bumi tidak memiliki pemimpin yang disebut dengan masa sianre baleni tauwe’ manusia hidup seperti ikan, dimana yang lebih besar dan kuat memakan yang kecil dan lemah. Menurut Andaya Leonard (2003), metafor ini disebut dalam sastra Indian kuno sebagai konsep matsyanyaya, atau logika ikan. Menurut gagasan Indian Kuno tentang perputaran masa, manusia akan turun derajatnya di ujung peputaran masa dan kehilangan perasaan terhadap tugas alaminya. Karena bakal tidak ada pemimpin dan suatu masyarakat tanpa raja tidak akan dapat hidup logika ikan atau persamaannya di Barat hukum rimba akan muncul.